TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah kalangan mengkritik Pemerintah DKI Jakarta yang belum mengusulkan pembentukan peraturan daerah dalam menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB. Penyusunan perda PSBB dianggap penting agar pemerintah mempunyai dasar hukum dalam memberikan saksi.
"Sanksi itu harus disepakati dua belah pihak (eksekutif dan legislatif). Pemberian sanksi hanya dimungkinkan di perda," kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh P Nugroho Teguh pada awal September lalu.
Ombudsman DKI Jakarta mendesak Pemerintah DKI segera membuat peraturan daerah untuk memberikan sanksi kepada pelanggar protokol kesehatan selama pandemi virus Covid-19. Peraturan gubernur landasan pemerintah menjatuhkan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan dinilai sangat lemah sejak penerapan pembatasan sosial jilid pertama hingga jilid kedua sekarang ini. Pembatasan sosial jilid II diatur melalui Peraturan Gubernur nomor 88 tahun 2020 tentang PSBB.
Pembatasan sosial jilid pertama telah diterapkan sejak 10 April hingga 4 Juni. Setelah itu pemerintah menerapkan PSBB transisi sejak 5 Juni hingga 13 September kemarin. Karena penularan virus semakin tidak terkendali dan rumah sakit nyaris penuh dengan pasien Covid-19, Pemerintah DKI memutuskan menarik rem darurat dengan menghentikan masa transisi dan menerapkan kembali PSBB. PSBB jilid dua telah berlangsung sejak 14 September hingga waktu yang belum diputuskan.
Menurut Teguh, sebenarnya pemerintah lebih mudah membentuk perda karena telah mempunyai Pergub yang cukup baik dalam menerapkan sanksi pelanggaran PSBB. "Hanya butuh dua sampai tiga pekan mengubah Pergub dan SK itu menjadi perda. Jadi tidak ada alasan lagi."